Februari, 2020.
Deadline numpuk, ajakan main dari temen-temen juga numpuk.
Balik jam 3 pagi, jam 8 udah ngantor lagi, hari Sabtu masih harus masuk.
Kapan tidurnya?
Dari awal kerja, sok misterius ngga ngabarin orang-orang kalo pindah. Nunggu ditanya aja, dan seringkali itu terjadi di saat IG story lagi di JPO terupdate di akunku. Bikin janji sama temen-temen, yang ada harus di cancel h-berapa jam karena suka dadakan harus lembur. Padahal bikin janjinya juga udah di hari yang aman, Jumat atau Sabtu. Akhirnya berpasrah diri, ngitung deadline berderet yang baru bener-bener beres di tanggal 9 Maret. "Nanti ya, setelah tanggal 9!", jawabku tiap ada pertanyaan ngotot "Kapan meet up nih?!"
Februari bener-bener ngga bisa nafas, tapi siapa sangka aku yang pelor begini bisa juga ngelakuin aktivitas sepadat itu. 9 Maret kelar tuh urusan. Oke. "Mau reschedule jadwal ketemu sama temen-temen ah!"
But then COVID-19 happen.
Terhitung awal Maret, "pasien pertama" teridentifikasi di Indonesia. Warga terpantau masih santai. Atau haruskah kita sebut lengah?
Perkantoran, perdagangan, dan sekolah masih beraktivitas seperti biasa. Angkutan umum masih penuh. Rute berangkat dan pulang kantor masih ditempuh dengan waktu normal. Dengan macet yang sama. Ngantuk yang sama. Peluh yang sama. Hal yang kita ga tau dan ga sadar adalah, virus ini diam-diam menyebar di antara kita.
13 Maret. Masih sempat ambil penerbangan untuk pulang ke S Town. Rasa panik di hati udah muncul. Tissue dan hand sanitizer ditaruh di kompartemen yang paling mudah dijangkau. Maklum, anaknya ngga bisa banget kalo ga absen ke toilet di tempat manapun yang dikunjungi. Syukur, masih disempatkan untuk jenguk keluarga.
Siapa yang nyangka hal yang akan terjadi selanjutnya? Terprediksi sih mungkin, tapi, di era globalisasi atau yang kita kenal udah borderless ini, kebayang ga bakal gimana rasanya harus ngejalanin ini semua? Gimana dampaknya untuk kita / masyarakat luas?
Kebijakan dari pemerintah sebagai langkah pencegahan penyebaran COVID-19 pun satu persatu muncul. Pembatasan keluar / masuk orang asing ke Indonesia, social / physical distancing dan segala peraturan turunannya, stimulus ekonomi, dan lain sebagainya.
Dari situ, kegiatan-kegiatan masyarakat mulai dibatasi dan dilaksanakan dirumah. Peraturan yang paling kita kenal, ya PSBB. Penyelenggaraan PSBB ini dilaksanakan di tingkat daerah. Tiap daerah istilahnya bisa berbeda satu sama lain, namun penerapannya serupa. Intinya, yang kita rasain sebagai warga adalah pergerakan kita jadi terbatas sekali. Mau keluar rumah pun udah panik, khawatir dan gelisah duluan. Terutama kita yang mengandalkan transportasi umum.
Say goodbye deh buat postponed meeting sama temen-temen. Satuan waktu "setelah corona" pun muncul, yang kita juga ga tau itu kapan. Pertemuan berubah jadi janji video call. Rasanya aku ingin nyampein pesan buat diriku sendiri dari bulan Januari lalu: "Tidur bisa nanti, banyakin ketemu sama temen yang udah lama ga ketemu. Jangan batalin janji. Live your life to the fullest and enjoy it, because it's your own freaking life. Do not take things for granted."
Do not take things for granted.
Terdengar mudah, tapi masih berkali-kali gagal mengimplementasikan dan berakhir nyesel di penghujung hari. Contohnya: hunting foto, jalan-jalan ke mall, beli jajanan pake plastik, nongkrong, tos (karena tos adalah budaya anak tongkrongan), cipika-cipiki, dan peluk orang tersayang jadi hal yang kita kangenin banget karena ga bisa dilakuin di masa-masa sekarang. Hal yang kita anggap remeh dan bisa ditunda, justru melunjak nilainya di mata kita sekarang.
Kemarin, kalau ada waktu dua hari untuk istirahat dalam seminggu, aku gunain kedua hari itu buat tidur dan ngelakuin aktivitas ringan dirumah. Belajar dari keadaan yang kita lalui bersama ini, besok ngga akan gini ceritanya. Untuk teman-teman dan kerabatku yang belum sempat kutemui, percaya deh. I'm looking forward to see u guys.
Kemarin, kalau ada waktu dua hari untuk istirahat dalam seminggu, aku gunain kedua hari itu buat tidur dan ngelakuin aktivitas ringan dirumah. Belajar dari keadaan yang kita lalui bersama ini, besok ngga akan gini ceritanya. Untuk teman-teman dan kerabatku yang belum sempat kutemui, percaya deh. I'm looking forward to see u guys.
Untuk yang bisa work from home, jangan lupa bersyukur. Kalau bisa jadi produktif dan kesampean ngelakuin hal-hal yang tertunda, aku kasih jempol. Achievement doesn't have to be something big and seen. Beresin perasaan dan ngehubungin kerabat yang udah lama ga bersua juga sebuah achievement loh. Jangan menghakimi dan menghukum diri sendiri kalau belum bisa mencapai sesuatu selama pandemi ini. Istirahat aja yang cukup dan makan yang sehat. Aku juga nargetin banyak hal untuk dicapai selama pandemi ini karena jadi punya banyak waktu luang, but screw target.
Sebenernya kita saling menyadari kok, di masa-masa seperti ini tuh rentan stres. Pengennya produktif. "Biar ga buang-buang waktu", kata orang-orang yang penuh ambisi ini. Kalau keadaan berkata lain, bisa lakuin hal-hal yang bikin seneng, atau tidur-tiduran sambil nonton drama favorit juga ga ada salah nya. Aku pun ga bisa berdiam diri dirumah. Kemarin sebelum puasa selama ga shifting kantor, rajin banget 7-minutes workout (dikali 3) dirumah dan lari setiap minggu. Kenapa lari? Karena biar bisa keluar rumah. Bisa liat langit cerah pun udah cukup jadi moodbooster di masa-masa seperti ini. Yah, moodbooster orang bisa beda-beda. In my case, excercise and take a shower are on my top list.
Sekian saudara-saudara, sehat dan bahagia selalu ya!
Remember,
Do not take things for granted.*
*I mentioned it 3 times, it's very important.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar